Saturday, February 25, 2006

Jurassic "Beaver" Is Largest Early Mammal Yet

Science & Technology at Scientific American.com: Jurassic "Beaver" Is Largest Early Mammal Yet

woo beaver the early mamal ?

Friday, February 24, 2006

Ikranagara: Utak-atik PORNOGRAFI

Di mana posisi Pornografi? Yang jelas posisinya bukanlah di bidang kesenian. Bukan pula di bidang ilmu pengetahuan, pendidikan atau pun kesehatan. Tidak ada persoalan di empat bidang ini, artinya tidak ada tempat bagi pornografi di bidang kesenian, ilmu pengetahuan, pendidikan dan kesehatan. Pornografi itu tempatnya di bidang komersial, karenanya berada di ranah masyarakat umum, yang tentu saja bukan di ranah dunia binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Tujuannya adalah untuk menangguk duit sebanyak-banyaknya.

Caranya? Dengan merangsang kebangkitan nafsu birahi pada manusia (bukan binatang atau pun tumbuh-tumbuhan). Yang terjun ke bidang ini juga banyak yang memang tidak mampu mengerjakan yang lain lalu ambil jalan pintas melalui pornografi untuk mendapat nafkah -- misalnya saja apa yang dikenal sebagai "pekerja sex" itu. Dalam hal inilah sebenarnya agama turun tangan dengan perangkat tatanan nilainya, juga pemerintah turun tangan dengan seperangkat UU dan Peraturan Pelaksanaannya. Apa sebenarnya subyek pornografi itu? Mudah dijawab: "main buka- bukaan"(yang dilakukan oleh manusia lho!) secara langsung atau pun lewat berbagai media yang tersedia --- misalnya lewat media film. Atau di tempat tidur di kamar (hotel, biasanya) yang tertutup.

Kalau "main buka-bukaan"ini ambil posisi di dalam sesuatu karya seni, atau ilmu pengetahuan, pendidikan dan kesehatan, maka hal ini tidak bisa disebut pornografi lagi. "Main buka-bukaan" dalam karya novel bernilai seni, misalnya karya Emilia Zola, bukanlah pornografi. Adegan pemerkosaan yang dilakukan bergilir oleh tentara dalam film "Man with Gun" itu sama sekali tidak merangsang nafsu syahwat penontonnya, malah menjijikkan dan terasa bikin muntah -- muak! Kalau saya melakukan "main bukan-bukaan" di kamar periksa dokter, karena saya sedang diperiksa kesehatan saya, itu juga bukan pronografi. Kalau di dalam ilmu pengetahuan dipaparkan dengan kata-kata maupun peragaan dengan alat peraga buatan maupun bukan yang buatan melainkan aseli manusia yang sudah mati maupun yang masih hidup tentang faat alat-alat kelamin pria dan wanita, maka ini juga bukan pornografi. Di sekolah, para remaja diajari hal-hal ini dalam rangka pendidikan
sex, bukan?

Misalnya diajari bagaimana memasang kondom, maka mau tidak mau penis (paling tidak dalam bentuk gambar di papan tulislah) harus ditampilkan oleh Pak atau Bu Guru agar jlas. Yang dilakukan oleh Pak atau Bu Guru ini bukanlah pornografi.

Demikianlah halnya dengan buku antik "Kamasutra" itu bukanlah pornografi, melainkan sebagai buku pelajaran bagaimana mencapai kenikmatan bersetubuh dengan berbagai posisi. Versi barunya, dalam bahasa Inggeris, dilengkapi dengan gambar-gambar realistik dan fotografi, judulnya "The Joy of Sex" sampais ekarang terus dicetak ulang. Nah, buku-buku ini perlu dimiliki oleh calon suami istri.

Jadi, kalau di dalam rangka "main bukan-bukaan" itu muncul rangsangan kebangkitan syahwat (baik bagi pria, wanita dan gay/lebian), dan di balik itu adalah tujuan untuk mencari pasar yang luas dan berarti pula komersialisasi, maka itu tergolong pornografi. Karenanya, ada juga media "kesenian" yang tergolong pornografi, misalnya saja yang disebut "blue movie" itu. Media komunikasi seperti majalah juga ada yang pornografi, misalnya saja majalah untuk pria "Penhouse" atau pun yang lebih gawat dari itu.

Demikian juga halnya di bidang kesehatan. Kita sering mendengar kabar tentang Dukun Cabul, bukan? Ah, itu masa lampaulah! Dan untunglah sampai sekarang belum pernah terbetik berita adalah Dokter Cabul. Tapi Pak Guru Cabul pernah terberitakan, bukan? Di AS ada berita tentang Bu Guru Cabul lho! Malah juga ada pendeta yang cabul, dan korbannya adalah anak-anak. Michael Jackson pun berkeringat dingin di pengadilan gara-gara dituduh melakukan pencabulan atas anak-anak, bukan? Untunglah dia berhasil membebaskan diri dari tuduhan itu.

Apakah pornografi ada manfaatnya? Tentu saja ada! Racun yang mematikan kuman pun jelas manfaatnya. Nah, konon bagi orang yang sudah uzur, sehingga nafsu syahwatnya sudah mulai loyo dan kendor, bisa dirangsang dengan "blue movie."

Nah, kalau ada UU pornografi, maka pelakunya harus diseret ke pengadilan. Ini lebih baik dibandingkan "main hakim sendiri" yang dilakukan oleh sejumlah orang di negeri kita. Lewat pengadilan, maka si tertuduh bisa membela dirinya. Ini namanya adil. Jadi, kalau ada pengadilan dalam hal ini, maka perlulah ditampilkan saksi ahli, baik yang memberatkan maupun yang meringankan atau malah yang membelanya. Saksi ahli itu boleh jadi seorang kritikus seni, arau seorang ahli kesehatan, ahli pendidikan atau pun yang mewakili bidang ilmu pengetahuan.

Itulah semuanya, yang harus dipertimbangkan, kalau kita ingin menyusun UU tentang pornografi.

Tapi, saya mau menutupnya dengan tambahan kecil ini:

Yang kurang sreg tentang apa yang saya utarakan di atas semua adalah jika dikaitkan dengan industri pil perangsang syahwat bernama "Viagra" itu, bukan? Jelas sekali pil ini hanya punya fungsi dan tujuan yang sangat
pornografis: merangsang kebangkitan syahwat pria! Kalau rumusan saya itu diterapkan untuk kasus pil ini, maka jelas sekali "Viagra" ini adalah pil pornografi -
--
hehe-hehe...!

Twinbrook, MD, 2006.

Titip

Comment :

Pada awalnya memang budaya tolong menolong ini bertujuan baik, bahkan tujuan membantu bukanlah hal yg salah. Namun apapun yg baik dapat disalah gunakan. Budaya titip juga sama saja kalau di"abuse".

=======================================

Titip

TULUS SUDARTO

Tanpa dinyana pola dasar pergaulan sosial kita adalah titip-menitip. Ketika mendaftar anaknya ke sebuah instansi, bapak sekadar berkata kepada orangdalam berkedudukan strategis di lembaga itu: Aku titip si Anu, ya. Si anak diterima. Aneka ujian jadi formalitas belaka. Setiap partai menitipkan orangnya untuk menduduki posisi tertentu di suatu departemen atau BUMN. Ketika ada kenalan yang hendak pergi belanja, dengan enak orang akan titip suatu barang untuk dibelikan.

Ada dua alasan mengapa orang menitip: memangkas biaya sosial yang seharusnya dikeluarkan (alasan ekonomis) dan mencipta ruang longgar untuk menancapkan kepekatan relasional (alasan ideologis). Sesering kita dititipi orang lain, sesering itu pula kita menggemukkan Bank Budi yang merupakan tabungan jangka panjang untuk satu saat kita berhak menangguk bunga hasil titip-menitip itu.

Kata titip tetap akan mandul kalau kita meleset memahaminya sebagai bahasa pergaulan sehari-hari. Ia bersifat sosial sebab tak bisa berdiri sendiri sebagai kata selain diletakkan dalam pergaulan sosial. Tak ada muatan arti apa pun dari titip selain merangkum pola hubungan antara satu pihak dan pihak lain.

Titip ternyata terlalu sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Kamus John M Echols dan Hassan Shadily memberi definisi panjang 'entrust something to someone for a short period'. Yang dipakai adalah kata entrust. Oxford sendiri memberi rumusan entrust sebagai 'give something to a person to look after'.

Selebihnya diberikan contoh sana-sini untuk menjelaskan. Kalau ke Indonesia nanti, saya titip oleh-oleh buat adik saya (When you go to Indonesia, can I entrust a present for my sister to you?) Seseorang yang minta titip dibelikan tiket akan berkata, Could you pick up a ticket for me later? Yang hendak menitip tas akan berkata, I will leave my bag here in your custody, okay? Kata benda titipan diterjemahkan sebagai entrusted goods.

Terlalu banyak definisi mencirikan kata tersebut sulit dialihbahasakan. Selain nihil padanan yang persis, sangat mungkin kata tersebut nyaris tak ada dalam kamus pergaulan sosial mereka. Budaya titip agaknya khas masyarakat kita saja.

Di Yogyakarta ada seorang guru besar dari Belanda yang tak bosan marah saban mahasiswa mengumpulkan makalah hanya dengan menitipnya kepada orang lain. Peragaan paling mencolok terjadi di lembaga pemerintahan. Sudah lama sekali prosedur titip-menitip bersifat eksklusif sekaligus intern. Di kalangan terbatas budaya titip sangat germinatif. Sebaliknya, DPR cenderung alergi bila dititipi suara rakyat. Lingkaran intimitas relasional memang sangat terjaga buat kebutuhan primordial saja.

Yang semula bersuasana ekonomis bergeser menjadi identitas kultural. Dalam lanskap inilah literatur Wittgenstein tentang permainan bahasa afdal. Sosialitas menjadi variabel paling mumpuni dalam menentukan jenis representasi budaya. Dan budaya titip merupakan representasi dari sintaksis keluarga.

Dalam bukunya, Young Heroes the Indonesian Family in Politics, Saya Sasaki Shiraishi menunjuk keluarga sebagai sintaksis masyarakat bangsa. Indonesianis asal Jepang itu membuktikan bahwa ideologi keluarga dipakai sebagai dasar bangunan bangsa. Bangsa tak lain sebuah keluarga besar.

Genealogi sintaks keluarga ini ditemukan pada Ki Hajar Dewantara yang mendirikan pendidikan Taman Siswa. Slogan abadi dipakai: ing ngarso sung tuladha ing madya mangun karsa tut wuri handayani.

Dalam perjalanan, salahtafsir terjadi atas filofosi tersebut. Distorsi paling gemilang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Secara faktual lingkaran kekuasaan begitu eksklusif. Mereka yang berada dalam kisaran kekuasaan pasti makmur. Sistem kroni berkembang subur. Status sebagai anggota keluarga dibuat dengan merentang sekian matarantai relasi. Secara ringkas, sintaksis keluarga dalam masyarakat bangsa memiliki adagium populer demikian: untuk bisa hidup, tak boleh tak harus punya relasi. Sintaksis keluarga menjadi sistem yang bersifat sosial. Kesuburan praktik KKN berasal dari landasan ideologis ini.

Dalam cara tutur Stuart Hall, setiap ruang bertaraf kebudayaan. Representasi mengacu pada soal bagaimana dunia ini dikonstruksi dan diejawantahkan kepada dan oleh masyarakat. Itu berarti budaya titip menjadi representasi mentalitas pragmatisme masyarakat. Atau, lebih pas bila dipakai istilah budaya malas. Titip-menitip lebih kuat mengarah pada arti malas ketimbang muatan ideologis megah lainnya.

Tak perlulah tersinggung kalau kita disebut bangsa dengan penyakit kemalasan akut. Terlebih lagi, kita telanjur ada dalam zona pemaknaan leksikal: bahasa mencerminkan bangsa.

Penulis Seorang Rohaniman, Seminari Tinggi St Paulus, Yogyakarta
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0602/17/utama/2442966.htm