Saturday, May 06, 2006

Nuklir untuk Listrik Indonesia

Segera, Nuklir untuk Listrik Indonesia
Sumber : MAJALAH PROYEKSI. Edisi XX, Tahun 2, 16 April - 15 Mei 2006

Sudah tiga kali Indonesia mencoba mewujudkan produksi listrik berkapasitas sangat besar dengan teknologi nuklir. Sekali terhenti karena persiapan belum matang, kedua karena biaya seret akibat krisis moneter. Kini upaya ketiga berjalan lebih fisibel.

Lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) ditetapkan berada di Kabupaten Jepara, pantai utara Semarang, tepatnya di Semenanjung Muria. Penetapan tapak lokasi menghabiskan waktu paling lama dari keseluruhan tahap mewujudkan PLTN.

"Ini bukan proyek main-main," ujar kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Prof. Soedyartomo Soentono, PhD, menanggapi kesan berlarutnya ide lama yang belum terealisasi hingga kini.

Masih dibutuhkan banyak model regulasi sehubungan nuklir untuk listrik yang baru pertama ingin diterapkan di Indonesia ini. Birokrasi pemerintah belumlah mapan. Dengan sistem birokrasi seperti yang ada sekarang ini, bangsa Indonesia belum bisa menikmati listrik dari PLTN secepatnya. Harus lebih bersabar, berjalan perlahan sambil belajar dan mengutamakan keselamatan.



Sejak lama BATAN sudah meneliti nuklir dan hasilnya telah diterapkan untuk berbagai keperluan seperti pengawetan makanan, bibit varietas unggul tanaman, teknologi medikal, pengolahan air minum, melacak kandungan minyak bumi dan sebagainya.

Perencanaan energi nasional

PLTNN adalah proyek jangka panjang. Meski diputuskan untuk dikerjakan sekarang, tetapi baru 10 tahun kemudian dapat merasakan realisasinya. menurut Dr. Arnold Y Soetrisnanto, Kepala Pusat Pengembangan Energi Nuklir BATAN, kita sebenarnya terlambat memilih opsi nuklir untuk energi, "Seharusnya sejak tahun 1970-an dulu", katanya menyayangkan.

Kapasitas listrik nasional sekarang 33 Giga Watt electric (GWe). Pada 2025, dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi 6 %, dapat diperkirakan kebutuhan listrik meningkat 3 kali lipat menjadi 100 GWe. Sekitar 30% dari kebutuhan itu atau, sekitar 70 GWe berada di Pulau Jawa.

"Perpres no 7/ 2005 menetapkan energi baru dan terbarukan sumbangannya harus minimal 5% dari kebutuhan energi nasional pada 2025. Dengan strategi optimalisasi pengelolaan energi, BATAN menargetkan pada 2035 bisa 15% kontribusi energi dari nonfosil tersebut.

Energi baru dan terbarukan di antaranya microhydro, surya, angin, biomassa, biofuel, fuelcell dan nuklir. Dari 5% yang ditargetkan, 2%, disumbang nuklir dan 3% oleh lainnya. Nuklir sebesar 2% untuk total kebutuhan energi nasional itu setara dengan 4% dari kebutuhan total energi listrik nasional.

Kecil sekali kontribusi nuklir di saat giatnya upaya pengurangan energi dari sumber minyak. BATAN memprediksikan, ke depan, masih batubara yang mendominasi bahan baku energi. Gas sebagai alternatif utama pengganti BBM tidak bisa diharapkan menjadi unggulan, sudah banyak kontrak penjualan ke luar negeri yang harus dipenuhi pemerintah.

Sarana distribusi bahan baku seperti pengangkutan batubara dan penyaluran gas ke pembangkit yang belum tersedia merupakan masalah biaya tersendiri yang tidak murah.

Sikap Yayasan lembaga konsumen Indonesia (YLKI) yang disampaikan pengurus hariannya, Tulus Abadi, menyesalkan kebijakan migas yang dibuat mengutamakan penjualan ekspor gas ke luar negeri. Cuma 25% saja untuk dalam negeri.

Cadangan potensial energi panas bumi nasional totalnya 219 juta SBM, ini termasuk besar di dunia. Kenyataannya jika dijadikan energi listrik cuma ekuivalen 19,66 GW. Pemenuhan kebutuhan listrik di masa depan tak bisa berharap banyak dari panas bumi.

Sejarah panjang PLTN Indonesia

Indonesia pertama kali melakukan persiapan pengembangan listrik tenaga nuklir pada tahun 1970 akhir. Baru melangkah sedikit, upaya tersebut tertunda. BJ Habibie sebagai Menristek, yang merancang percepatan perkembangan teknologi di Indonesia saat itu, meminta adanya pusat riset dan pengembangan reaktor lebih dulu. Ketika tiba saatnya putra Indonesia sudah siap menerima transfer teknologi, dibangunlah puspitek nuklir di Serpong.

Puspitek Serpong selesai tahun 1987. Untuk kedua kalinya Indonesia mengadakan percobaan pengembangan nuklir untuk listrik, feasibility study dimulai 1990 dan selesai 1996. BATAN diminta meneruskan desain pelaksanaan dan pengoperasian nantinya.

Tahun 1997, laporan kepada pemerintah menyebutkan bahwa PLTN siap dibangun dan dijadwalkan dapat beroperasi 2004. BJ Habibie yang telah menjabat sebagai presiden waktu itu tidak cukup kuat mewujudkan PLTN. Situasi politik tidak kondusif dan masih dalam situasi krisis moneter. Akibatnya mementahlah semua rencana.

Abdurrahman Wahid yang menjabat presiden RI pada tahun 2000 kedatangan tamu seorang ilmuwan penerima nobel dari Mesir. Pembicaraan mengarah ke pemanfaatan teknologi seperti yang dikembangkan ilmuwan muslim zaman dulu bagi kemaslahatan umat, kembali timbul rencana studi mewujudkan PLTN di Indonesia.

Tahun 2003, studi selesai dan dilaporkan kepada pemerintah. Tapi tampuk pemerintahan sudah berganti ke Presiden Megawati. Program persiapan pun terus dilanjutkan dengan rencana operasi PLTN 2016, tetapi dengan konstelasi yang sudah berubah. Undang-undang ketenaganukliran No 10 Tahun 1997 menetapkan BATAN hanya menangani riset dan pengembangan, realisasi proyek dan pengoperasian dikerjakan BUMN, swasta atau koperasi, di bawah kordinasi Departemen Energi dan Sumber Daya Manusia.



Sampai sejauh ini pemerintah kelihatannya sungguh-sungguh ingin mewujudkan PLTN, legislatif juga tidak keberatan. Peppres No 5 Tahun 2005 tentang Kebijakan Energi Nasional sudah memasukkan opsi nuklir. Rencana Umum Kelistrikan Nasional (RUKN) juga sudah memasukan opsi nuklir.

Persiapan makin matang. 2008 direncanakan tender perusahaan yang mengerjakan PLTN dilakukan. Konstruksi diperkirakan mulai 2010, dan operasi 2016. untuk mewujudkannya, akan dibentuk tim gabungan antar departemen dan unsur terkait lainnya, tugasnya menetapkan badan usaha yang akan mengelola, juga mengusahakan pembiayaan proyek PLTN.

Satu lembaga independen yang bertanggung jawab langsung kepada presiden telah dibentuk untuk mengawasi semua upaya ini, juga sebagai regulator, namanya BAPETEN (Badan Pengawas Tenaga Nuklir). BAPETEN ini diawasi lembaga internasional khusus mengenai nuklir.

Bahan baku uranium

Negara paling besar ekspor uraniumnya adalah Australia. Berikutnya Kanada dan disusul Afrika Selatan. Di Kalimantan Barat ada uranium kita yang sudah coba diolah. Free market sekarang ini memungkinkan kita membeli dari negara mana saja. Harga uranium masih cukup bersaing dengan batu bara dan gas. Mumpung masih murah, baiknya disimpan dulu cadangan uranium buat anak cucu, karena kita masih mampu membeli dari luar.

Stok uranium besar sekali di pasar dunia, harganya relatif tidak terkait langsung dengan flukstuasi harga minyak dunia. Kenaikan harga hanya berkaitan dengan transportasi pengangkutannya yang membutuhkan bahan bakar minyak.

Alasan lain mengapa BATAN mengusulkan membeli dari luar adalah cadangan Indonesia ada, tetapi konsentrasinya kecil. Di Australia misalnya dalam seratus kilogram tanah terdapat 50 kg uranium. Di Indonesia dalam satu ton tanah yang digali dari penambangan paling hanya ada 100 kg uranium.



Teriakan antinuklir

Sejak tahun 1994 lembaga Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menolak adanya PLTN di Indonesia. Alasannya dari mulai penambangan uranium sampai penanganan limbahnva dan resiko kebocoran dapat menimbulkan masalah. Usia pakai PLTN terbatas sekitar 30 atau 40 tahun. Ketika dinding kubah penahan reaktor jenuh oleh radioaktif, produksi harus stop, dan setelah itu lahan tempat PLTN menjadi nonpruduktif karena tidak boleh diapa-apakan lagi. Seperti ladang berpindah, reaktor harus dibangun di tempat lain lagi, tetapi jangka waktu siklus lahan bisa berabad-abad untuk dapat produktif lagi.

Budaya pungutan liar dan mark up proyek di Indonesia bisa menimbulkan bencana besar. "Apa garansi proyek PLTN dengan teknologi yang seharusnya zero tolerance tidak terjadi pengurangan nilai spesifikasi?" tanggap Pantoro Tri Kuswardono dari Walhi.

Menurut Pantoro, masih banyak energi baru terbarukan seperti microhydro yang belum dimanfaatkan secara optimal. Arus air di sungai-sungai dan laut bisa dimanfaatkan untuk pembangkit listrik. Panas yang dihasilkan sampah juga bisa digunakan untuk menggerakkan turbin.



Kemungkinan Listrik murah

Tarif dasar listrik (TDL) di Indonesia mencapai US$ 6,5 sen per kWh, lebih tinggi dari beberapa negara tetangga. Biaya iuran listrik bagi pelanggan di Malaysia hanya US$ 6,2 sen per kWh, di Thailand US$ 6,0 sen per kWh dan di Vietnam cuma US$ 5,2 sen per kWh.

Demonstrasi menentang kenaikan TDL terjadi di mana-mana. Baru-baru ini PLN menyatakan defisit anggaran. Ongkos produksi listrik yang tinggi menjadi landasan PLN menaikkan tarif jika permintaaan subsidinya tidak dipenuhi. Audit BPK menemukan defisit tidak sebesar perhitungan PLN, banyak inefesiensi terjadi di tubuh PLN.

Alternatif operator PLTN Muria akan di serahkan ke PLN atau dibentuk BUMN baru khusus. PLN kelihatan paling siap. Jika nantinya pegelolaan PLTN di swrahkan ke PLN mungkin saja inefesiensi tetap terjadi. Lantas, kapan listrik murah bagi masyarakat?

Produksi listrik swasta skala kecil untuk lingkungan sendiri sudah banyak. Mereka memproduksi dengan biaya lebih murah, mematok tarif sama dengan PLN tetapi melayani dengan kualitas lebih baik. Seandainya ada persaingan penjual listrik nasional, tentu harga TDL akan sangat bersaing. Itu artinya monopoli penyedia listrik ditiadakan. Mungkinkah? (Taufiq)

Sumber : MAJALAH PROYEKSI. Edisi XX, Tahun 2, 16 April - 15 Mei 2006

0 Comments:

Post a Comment

<< Home