Sunday, April 09, 2006

MELIRIK ENERGI PANASBUMI

MELIRIK ENERGI PANASBUMI
Oleh Bosman Batubara*
Boleh dikata kebijakan diversifikasi energi di Indonesia jomplang. Dikatakan jomplang karena pasar energi di Indonesia masih terkonsentrasi pada Bahan Bakar Minyak (BBM). Hal ini semakin ironis mengingat pelbagai macam “bom waktu” yang tersimpan seiring dengan pemakaian BBM. Sebut saja misalnya, beban negara yang harus terus menyubsidi rakyat, cadangan minyak bumi yang semakin menipis ditingkahi kebutuhan energi yang semakin tinggi, dan tabungan kerusakan ekologis berupa—salah satunya—pemanasan global sebagai akibat terbentuknya selubung pelbagai macam gas di atmosfer bumi kita.
Mengacu pada publikasi Departemen ESDM, Indonesia memiliki cadangan energi fosil berupa 86,9 miliar barrel minyak yang dapat digunakan selama 18 tahun, cadangan gas alam sebesar 384,7 triliun standar kaki kubik, untuk penggunaan selama 61 tahun, dan cadangan batubara sebesar 57 miliar ton, untuk penggunaan selama 147 tahun. Adapun energi non-fosil seperti air dan panasbumi, mencapai setara dengan 219 juta barrel minyak, dan istimewanya cadangan non-fosil ini dapat diperbaharui (renewable), (Kompas, 28/5/05). Sementara kebutuhan manusia akan energi semakin hari semakin meningkat. Ambil contoh, kebutuhan minyak mentah dunia akan naik sebesar kurang lebih 1,7%, dari 82, 4 juta barrel pada tahun 2004, menjadi 83,8 juta barrel pada tahun 2005 (Kompas, 9/5/05).
Untuk permasalahan ekologi, anda jangan heran apabila cuaca di kota anda semakin lama semakin panas. Mudah dipahami. Salah satu penyebab naiknya suhu di permukaan bumi adalah adanya fenomena “efek rumah kaca”. Efek rumah kaca diartikan sebagai kenaikan suhu di bumi karena adanya kandungan berbagai macam gas yang membentuk selubung di atmosfer bumi kita. Kejadiannya kira-kira sebagai berikut. Panas matahari yang sampai di bumi kita, tidak semuanya terserap oleh bumi, tetapi ada bagian-bagian yang dipantulkan kembali ke atmosfer. Begitu sampai di bagian gas yang membentuk selubung tadi, panas matahari hasil pantulan ini tidak bisa menembus selubung gas, tetapi kembali terpantulkan ke arah bumi. Akibatnya suhu di bumi naik. Banyak akibat susulan yang akan timbul karena naiknya suhu di permukaan bumi kita, salah satunya—dan yang paling sering disebut-sebut orang—adalah mencairnya tubuh-tubuh es yang ada di bumi, sehingga ada kemungkinan seluruh daratan di bumi akan tergenang.
Salah satu jenis gas yang membentuk selubung di atmosfer tersebut adalah gas CO2 (karbon diokasida). CO2, dalam kondisi seimbang, merupakan gas yang dibutuhkan oleh tumbuhan untuk proses pernafasan. Akan tetapi melihat lekasnya laju deforestasi di muka bumi dan pemakaian bahan bakar fosil—salah satu bakal penghasil gas CO2—maka lama-kelamaan keadaan semakin tidak setimbang. Produksi gas CO2 terlalu banyak, sementara pengonsumsinya terus berkurang.
Salah satu penghasil gas CO2 adalah kenderaan bermotor dan mesin-mesin lain yang menggunakan bahan bakar fosil. Sewaktu keluar dari mesin sebagai gas buangan, gas ini masih dalam bentuk CO (karbon monoksida). Karbon monoksida sendiri sangat berbahaya. Dalam darah CO memiliki kemampuan mengikat haemoglobin (butir-butir darah merah), sehingga dapat menghentikan proses pernafasan. Di udara bebas, CO akan bereaksi dengan O2 dan membentuk gas CO2 yang kemudian menyumbang terbentuknya selubung gas “rumah kaca”. Sebagai contoh, di kota Yogyakarta kandungan gas CO yang dihasilkan dari kenderaan bermotor roda 2 dan roda 4 pada tahun 2003 mencapai 0,19-14,95 % (KOMPAS, 30/4/05). Dan kesemuanya itu tentunya menyumbang untuk pemanasan global (global warming) tadi.
Dengan kondisi macam begitu, tidak aneh kalau pasca Kongres Panasbumi Dunia (World Geothermal Congress) 2005 di Antalya, Turki, maka delegasi Asosiasi Panasbumi Indonesia (API) langsung menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan “mengampanyekan” energi panasbumi sebagai salah satu sumber energi di luar BBM yang “dapat diharapkan”.
Banyak faktor penyebab mengapa panasbumi yang, didefinisikan sebagai energi panas dari dalam bumi yang dapat diambil dalam bentuk uap, air panas, atau campuran keduanya (Pri Utami, 2003), dapat diandalkan sebagai sumber energi yang “dapat diharapkan”, terutama untuk kasus Indonesia.
Pertama, tentunya keterdapatan energi panasbumi di Indoneisa yang melimpah. Potensi panas bumi di Indonesia dalam pelbagai macam status sangat melimpah,. Terdiri dari 9530 Megawatt (MW) berstatus Sumberdaya Spekulatif, 4714 Sumberdaya Hipotesis, 9912 MW Cadangan Terduga, 728 MW Cadangan Mungkin dan 2305 Cadangan Terbukti, total jenderal 27.189 MW. Kesemua sumberdaya dan cadangan panasbumi tersebut tedistribusi di 251 lokasi mulai dari provinsi paling barat, NAD, sampai di provinsi paling timur, Papua. Dengan jumlah potensi energi panasbumi sebesar itu, maka Indonesia menjadi negara pemilik cadangan energi panasbumi terbesar di dunia (kurang lebih 40% cadangan dunia). Namun, dari sekian potensi tersebut, yang sudah dimanfaatkan (terpasang) baru 807 MW, (Sjafra Dwipa, 2003).
Kedua, tentunya sifat energi panasbumi yang dapat diperbaharui (renewable). Dengan teknik injeksi, maka uap air yang sudah diambil panasnya untuk memutar turbin dapat dipompakan kembali ke dalam volume batuan di bawah permukaan yang mampu menyimpan dan melalukan fluida serta memiliki temperatur dan tekanan yang sesuai untuk sistem panasbumi (reservoir). Renewabilitas panasbumi inilah yang menjadi salah satu faktor penting yang membedakannya dengan sumber energi lain seperti BBM dan Batubara.
Ketiga, energi panasbumi sebagai energi yang ramah lingkungan. Hal ini ditinjau dari kandungan emisi gas buang energi panasbumi jikalau dibandingkan dengan bahan bakar minyak dan batubara. Emisi gas CO2 panasbumi sekira 4 kali lebih kecil dari emisi gas CO2 minyak dan batubara, (Pri Utami, 2003).
Keempat, perkembangan rekayasa pemanfaatan terpadu energi panasbumi memperlihatkan gejala domestik. Ini berarti energi panasbumi bukan komoditas ekspor seperti BBM. Dengan demikian energi panasbumi akan menjadi sumber energi lokal dan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan energi setempat, sekaligus, efek dominonya diharapkan akan merangsang pertumbuhan daerah terkait.
Begitupun, terlepas dari segala macam keutamaan energi panasbumi seperti yang sudah dipaparkan di atas, ternyata sumber energi ini tidak luput pula menuai kritikan. Meski bernada sangsi, maka tulisan George Junus Aditjondro (GJA) dapat dianggap sebagai salah satunya. GJA mengaitkan keberadaan lapangan panasbumi Lahendong yang diharapkan berkekuatan 60 MW dengan fenomena bocornya seng atap rumah-rumah penduduk di sekitarnya, sehingga harus diganti dengan atap rumbia (GJA, 2003). Padahal, perlu diketahui bahwa gejala pengaratan atap berbahan seng pada daerah sekitar gunungapi yang menghasilkan belerang—lapangan panasbumi umumnya berasosiasi dengan gunungapi—sudah menjadi sesuatu yang lazim. Di sekitar gunung Sorik Marapi (Mandailing Natal, Sumatera Utara) misalnya, sejak zaman dahulu masyarakat disana membangun rumahnya dengan beratapkan ijuk, karena bila memakai seng sangat cepat mengalami pengaratan.
Demikianlah. Sebagai penutup, tiada cara lain, kecuali mengunci tulisan ini dengan harapan; semoga kebijakan energi pemerintah semakin terdiversifikasi. Karena kalau tidak, boleh jadi kita sendiri: manusia, akan terjebak dalam lubang-lubang masalah yang (juga) kita cipta sendiri, dan menyebabkan kepunahan semesta. Dan itu tragis.***


* adalah mahasiswa Jurusan Teknik Geologi FT-UGM


Dari si penulis :
On 4/9/06, bosman batubara wrote:
>
> Saya sudah joint kok Pak di milis "Geologi UGM." Mungkin ada yang
> meng-invite. Terima kasih Pak.
> Btw, saya juga pernah menulis tentang geothermal dulu sewaktu masih menjadi
> mahasiswa (itu dulu atas motivasi dari Pak Sukusen. Saya ga' tau apakah
> beliau masih ingat atau sudah lupa). Dulu pernah dimuat di salah satu koran
> lokal di Medan (persisinya saya sudah lupa). Tetapi sangat dangkal Pak.
> (tetapi yang ini jangan Bapak forward ke milis UGM, wah... saya malu nanti).
> sekali lagi terima kasih.
>
> bb


0 Comments:

Post a Comment

<< Home