Friday, February 24, 2006

Ikranagara: Utak-atik PORNOGRAFI

Di mana posisi Pornografi? Yang jelas posisinya bukanlah di bidang kesenian. Bukan pula di bidang ilmu pengetahuan, pendidikan atau pun kesehatan. Tidak ada persoalan di empat bidang ini, artinya tidak ada tempat bagi pornografi di bidang kesenian, ilmu pengetahuan, pendidikan dan kesehatan. Pornografi itu tempatnya di bidang komersial, karenanya berada di ranah masyarakat umum, yang tentu saja bukan di ranah dunia binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Tujuannya adalah untuk menangguk duit sebanyak-banyaknya.

Caranya? Dengan merangsang kebangkitan nafsu birahi pada manusia (bukan binatang atau pun tumbuh-tumbuhan). Yang terjun ke bidang ini juga banyak yang memang tidak mampu mengerjakan yang lain lalu ambil jalan pintas melalui pornografi untuk mendapat nafkah -- misalnya saja apa yang dikenal sebagai "pekerja sex" itu. Dalam hal inilah sebenarnya agama turun tangan dengan perangkat tatanan nilainya, juga pemerintah turun tangan dengan seperangkat UU dan Peraturan Pelaksanaannya. Apa sebenarnya subyek pornografi itu? Mudah dijawab: "main buka- bukaan"(yang dilakukan oleh manusia lho!) secara langsung atau pun lewat berbagai media yang tersedia --- misalnya lewat media film. Atau di tempat tidur di kamar (hotel, biasanya) yang tertutup.

Kalau "main buka-bukaan"ini ambil posisi di dalam sesuatu karya seni, atau ilmu pengetahuan, pendidikan dan kesehatan, maka hal ini tidak bisa disebut pornografi lagi. "Main buka-bukaan" dalam karya novel bernilai seni, misalnya karya Emilia Zola, bukanlah pornografi. Adegan pemerkosaan yang dilakukan bergilir oleh tentara dalam film "Man with Gun" itu sama sekali tidak merangsang nafsu syahwat penontonnya, malah menjijikkan dan terasa bikin muntah -- muak! Kalau saya melakukan "main bukan-bukaan" di kamar periksa dokter, karena saya sedang diperiksa kesehatan saya, itu juga bukan pronografi. Kalau di dalam ilmu pengetahuan dipaparkan dengan kata-kata maupun peragaan dengan alat peraga buatan maupun bukan yang buatan melainkan aseli manusia yang sudah mati maupun yang masih hidup tentang faat alat-alat kelamin pria dan wanita, maka ini juga bukan pornografi. Di sekolah, para remaja diajari hal-hal ini dalam rangka pendidikan
sex, bukan?

Misalnya diajari bagaimana memasang kondom, maka mau tidak mau penis (paling tidak dalam bentuk gambar di papan tulislah) harus ditampilkan oleh Pak atau Bu Guru agar jlas. Yang dilakukan oleh Pak atau Bu Guru ini bukanlah pornografi.

Demikianlah halnya dengan buku antik "Kamasutra" itu bukanlah pornografi, melainkan sebagai buku pelajaran bagaimana mencapai kenikmatan bersetubuh dengan berbagai posisi. Versi barunya, dalam bahasa Inggeris, dilengkapi dengan gambar-gambar realistik dan fotografi, judulnya "The Joy of Sex" sampais ekarang terus dicetak ulang. Nah, buku-buku ini perlu dimiliki oleh calon suami istri.

Jadi, kalau di dalam rangka "main bukan-bukaan" itu muncul rangsangan kebangkitan syahwat (baik bagi pria, wanita dan gay/lebian), dan di balik itu adalah tujuan untuk mencari pasar yang luas dan berarti pula komersialisasi, maka itu tergolong pornografi. Karenanya, ada juga media "kesenian" yang tergolong pornografi, misalnya saja yang disebut "blue movie" itu. Media komunikasi seperti majalah juga ada yang pornografi, misalnya saja majalah untuk pria "Penhouse" atau pun yang lebih gawat dari itu.

Demikian juga halnya di bidang kesehatan. Kita sering mendengar kabar tentang Dukun Cabul, bukan? Ah, itu masa lampaulah! Dan untunglah sampai sekarang belum pernah terbetik berita adalah Dokter Cabul. Tapi Pak Guru Cabul pernah terberitakan, bukan? Di AS ada berita tentang Bu Guru Cabul lho! Malah juga ada pendeta yang cabul, dan korbannya adalah anak-anak. Michael Jackson pun berkeringat dingin di pengadilan gara-gara dituduh melakukan pencabulan atas anak-anak, bukan? Untunglah dia berhasil membebaskan diri dari tuduhan itu.

Apakah pornografi ada manfaatnya? Tentu saja ada! Racun yang mematikan kuman pun jelas manfaatnya. Nah, konon bagi orang yang sudah uzur, sehingga nafsu syahwatnya sudah mulai loyo dan kendor, bisa dirangsang dengan "blue movie."

Nah, kalau ada UU pornografi, maka pelakunya harus diseret ke pengadilan. Ini lebih baik dibandingkan "main hakim sendiri" yang dilakukan oleh sejumlah orang di negeri kita. Lewat pengadilan, maka si tertuduh bisa membela dirinya. Ini namanya adil. Jadi, kalau ada pengadilan dalam hal ini, maka perlulah ditampilkan saksi ahli, baik yang memberatkan maupun yang meringankan atau malah yang membelanya. Saksi ahli itu boleh jadi seorang kritikus seni, arau seorang ahli kesehatan, ahli pendidikan atau pun yang mewakili bidang ilmu pengetahuan.

Itulah semuanya, yang harus dipertimbangkan, kalau kita ingin menyusun UU tentang pornografi.

Tapi, saya mau menutupnya dengan tambahan kecil ini:

Yang kurang sreg tentang apa yang saya utarakan di atas semua adalah jika dikaitkan dengan industri pil perangsang syahwat bernama "Viagra" itu, bukan? Jelas sekali pil ini hanya punya fungsi dan tujuan yang sangat
pornografis: merangsang kebangkitan syahwat pria! Kalau rumusan saya itu diterapkan untuk kasus pil ini, maka jelas sekali "Viagra" ini adalah pil pornografi -
--
hehe-hehe...!

Twinbrook, MD, 2006.

1 Comments:

At 4:33 PM, Blogger Rovicky Dwi Putrohari said...

Ya walaupun merangsang asalkan tidak menjadi hal yg "komersial" (dijual belikan). Dan sebenernya terangsang itu kan itu hal yg wajar tah ?

met kenal jugak

 

Post a Comment

<< Home